![]() |
Ilustrasi Bahan Bakar Minyak (Freepik.com) |
Dan benar saja. Tak lama, Gubernur Kaltim, Kanda eh Pak Rudy Mas’ud, datang langsung ngecek ke SPBU. Saya salut. Ini langkah cepat. Biasanya kan kita kudu ngeluh bertahun-tahun dulu baru pejabat datang. Ini baru ngeluh sebulan, langsung hadir. Mantap, Pak! Tapi tunggu dulu...
Setelah dicek, beliau malah bilang: “Kemungkinan besar bukan BBM-nya yang salah, tapi kendaraan warga yang tidak diservis.”
Mohon maaf, Pak. Ini bukan sinetron, tapi logika. Masak iya, mendadak ratusan kendaraan mogok gara-gara semuanya lupa servis? Kalau benar itu alasannya, tolong saya juga dikasih tahu di mana bengkel langganan Bapak, biar kami semua servis bareng, dan dapat diskon rombongan.
Kalau alasannya cuma itu, berarti ke depan, setiap kita isi bensin dan motor mogok, kita disuruh intropeksi, bukan investigasi.
Padahal ini bukan soal ngambeknya mesin, tapi soal kepercayaan publik yang lagi dikocok kayak es alpukat atau durian itu.
Untungnya, ada kabar baik: setelah pertemuan antara Pertamina dan DPRD Kaltim, Pertamina (katanya) bersedia mengganti biaya servis bagi warga yang kendaraannya rusak. Akhirnya! Ini baru adil. Walau saya yakin, ngurus klaimnya pasti penuh lika-liku dan berkas-berkas yang harus difotokopi tiga rangkap sambil bawa materai 10 ribu dan kopi hitam juga kembang tujuh rupa.
Tapi harapan itu mendadak goyah lagi.
Karena kemudian muncul pernyataan dari Wali Kota Samarinda bahwa pemerintah kota bersedia mengganti kerusakan kendaraan warga. Ini kabar baik sih, ya, meskipun ada maksimal nominal Rp300 ribu Tttaaapi. Kok Pemkot Samarinda ya.
Kita sebagai rakyat jadi bingung. Ini bensin siapa yang oplos, siapa yang mau ganti, siapa yang lempar tanggung jawab, dan siapa yang sibuk update Instagram?
Kalau gini caranya, lama-lama rakyat bukan cuma jadi korban BBM oplosan, tapi juga korban dari adu opini antar-pejabat. Saya sampai pengin bikin spanduk kecil depan rumah: “Kalau nggak bisa bantu, ya jangan saling lempar.”
Ini belum ngomongin nasib warga yang kendaraannya rusak tapi nggak tahu harus lapor ke mana. Apa harus ngetag akun Pertamina dulu? Apa harus bikin video motor mogok dan diunggah ke TikTok biar viral? Atau harus nyari teman yang kerja di DPRD dulu biar bisa dimediasi?
Kadang saya berpikir, seharusnya sebelum BBM dijual ke rakyat, ada sistem uji rasa dulu kayak kopi di kafe. Atau minimal, ada warning label:
"BBM ini bisa bikin mesin ngamuk. Mohon diservis dulu kendaraannya sebelum salah paham."
Atau kalau bisa, ada paket isi BBM plus kupon servis gratis. Jadi kalau mesin mogok, kita tinggal bilang, “Woles, ini ada kupon dari Pertamina.”
Akhir kata, saya cuma mau bilang: kami ini bukan warga yang rewel. Kami cuma warga yang sayang sama motor sendiri. Bayangkan kalau motor rusak gara-gara bensin, dan kami harus jalan kaki ke tempat kerja, pulangnya kehujanan, terus disalip sama mobil pejabat yang katanya peduli rakyat. Apa nggak pengin nangis di pinggir trotoar?
Jadi, para pemegang kuasa—Gubernur, Wali Kota, Pertamina, dan semua yang terkait—tolonglah, jangan bikin kami makin bingung. Kalau memang salah di BBM, ya akui. Kalau salah di sistem, perbaiki. Jangan saling dorong tanggung jawab kayak anak-anak rebutan mainan.
Belum lagi, belakangan malah ada masalah baru. Ada aja oknum yang memalsukan bukti transaksij servis di bengkel, biar dapat jatah kompensasi. Hedeeeeh. Malah jadi ke mana-mana. Sebenarnya keinginan warga itu sederhana.
Kami cuma pengin motor yang bisa jalan, dan hidup yang nggak harus diisi dengan tebak-tebakan.